islam sebagai agama

Islam Sebagai Agama, Bukan Sekadar Identitas

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Islam sebagai agama, bukan sekadar identitas? Ya, dalam dunia modern yang serba cepat ini, seringkali agama termasuk Islam hanya menjadi sebuah label atau identitas sosial. Namun, Islam jauh lebih dalam daripada sekadar atribut budaya atau politik. Islam adalah sebuah sistem keyakinan yang menyeluruh, meliputi keimanan, perilaku, moralitas, dan hubungan manusia dengan Allah serta sesama.

Jalan Hidup yang Menyeluruh

Kata Islam secara harfiah berarti “berserah diri” berserah kepada kehendak Allah SWT. Seorang muslim, dengan demikian, adalah seseorang yang secara sadar dan sepenuh hati menyerahkan hidupnya untuk mengikuti aturan, perintah, dan nilai-nilai yang telah Allah tetapkan.

Islam mengajarkan tauhid, keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan yang layak disembah. Ini bukan hanya klaim teologis, tetapi fondasi seluruh aspek kehidupan. Bagaimana seseorang bekerja, bermasyarakat, berkeluarga, dan menjaga lingkungan.

Di dalam Islam, iman (iman), praktik (amal), dan etika (akhlak) adalah satu kesatuan. Tidak cukup hanya mengaku “Muslim” secara nama, iman harus tercermin dalam perbuatan nyata seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, ketaatan, dan komitmen terhadap kebaikan.

Islam Bukan Warisan, Tapi Pilihan Sadar

Banyak yang lahir dalam keluarga muslim dan otomatis menganggap dirinya muslim. Namun, dalam perspektif Islam, keislaman sejati bukan sekadar warisan biologis. Al-Quran berkali-kali menyeru manusia untuk menggunakan akal mereka, memahami, dan memilih jalan iman dengan kesadaran penuh.

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256)

Artinya, menjadi muslim bukan hanya tentang asal-usul, tetapi tentang kesadaran diri dalam menjalani ajaran Islam secara utuh dan ikhlas.

Tantangan Reduksi Islam Menjadi Identitas

Di era globalisasi ini, Islam sering dipolitisasi dan disalahpahami. Di satu sisi, sebagian orang menggunakannya untuk mengukuhkan posisi sosial atau politik, kemudian ada yang menilai Islam hanya sebagai simbol budaya semata, sebuah identitas etnis atau nasionalisme.

Bahaya dari pandangan ini adalah hilangnya esensi Islam sebagai petunjuk hidup. Jika Islam hanya menjadi simbol, maka ibadah seperti salat, puasa, zakat, atau akhlak mulia seperti jujur dan adil, menjadi formalitas tanpa ruh.

Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa yang salat tetapi tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar, maka salatnya tidak bernilai apa-apa di sisi Allah.” (HR. Ahmad)

Menyentuh Hati dan Mengubah Perilaku

Islam mengajak pemeluknya untuk membangun hubungan pribadi yang mendalam dengan Allah. Hubungan yang hidup, bukan kaku. Dari hubungan ini, lahir perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islam seperti kasih sayang terhadap sesama, kejujuran dalam berbisnis, amanah dalam memimpin, adil dalam menghukum, dan rendah hati dalam berinteraksi.

Seorang muslim sejati adalah pribadi yang kehadirannya membawa kedamaian, keadilan, dan kebaikan bagi lingkungan sekitarnya, bukan hanya mengklaim keislaman tanpa bukti nyata dalam laku hidup.

Kesimpulannya, Islam adalah agama yang mengajak kepada kesadaran, penghayatan, dan pengamalan. Ia bukan sekadar atribut, bukan sekadar nama di KTP, atau simbol kultural. Islam menuntut keterlibatan seluruh jiwa dan raga, mengarahkan hidup kepada nilai-nilai ilahi.

Menghayati Islam sebagai agama, bukan sekadar identitas, berarti menumbuhkan iman yang hidup. Iman yang melahirkan perubahan positif dalam diri sendiri dan masyarakat. Dengan demikian, Islam akan tetap menjadi sumber cahaya, bukan hanya label yang hampa makna. (Dian Safitri)